XXX

Selasa, 27 November 2012

KEBUDAYAAN MASYARAKAT MADURA

MAKALAH


Di ajukan Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum

Dosen Pembimbing Cory Sayekti.SH


Disusun Oleh:
·      MOHAMMAD HOLID E.
·      FATLUR RAHMAN
·      FATHOR RAHMAN
·       
·       

UNIVERSITAS ISLAM MADURA
FAKULTAS FKIP
JURUSAN PPKn
2012-2013










KATA PENGANTAR

           
            Syukur  Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SOSIOLOGI HUKUM”. Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Jurusan PENJASKES Universitas Islam Madura.
           
            Kami menyadari bahwa keberhasilan penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
           
            Dalam penulisan makalah ini  Kami juga menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca agar kami dapat  memberikan yang lebih baik untuk yang selanjutnya. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi pembaca ataupun penulis. Amien ...




                                                            Pamekasan, 15 November 2012
                                                                       
                                                            Penulis







DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.  Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A.Perkawinan Salēp Tarjhâ Menurut Masyarakat Madura..................... 3
B. Pengaruh Budaya Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya. 5
BAB III
PENUTUP............................................................................................. 9
Kesimpulan.............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 10






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak hal menarik yang bisa diperbincangkan mengenai manusia Madura dan perilakunya. Disimak dari segi apapun, ada keunikan tersendiri dari karakter masyarakat yang dilahirkan di pulau garam tersebut. Demikian pula jika perilaku-perilaku masyarakat Madura dikaji dari sudut pandang antropologi hukum.Setidaknya, ada tiga dasar hukum yang sangat berpengaruh pada pola perilaku masyarakat Madura. Yaitu, hukum masyarakat lokal setempat atau hukum adat, hukum agama, dan hukum negara. Masing-masing hukum memiliki kekuatan tersendiri terhadap segment-nya. Sebab, masyarakat Madura bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian pula. Yaitu, golongan yang patuh pada hukum adat di pedalaman pedesaan, golongan yang patuh pada hukum agama di ruang pesantren dan golongan yang patuh pada hukum negara di perkotaan.
Dicontohkan, pada perilaku masyarakat Madura. Ada golongan masyarakat tertentu yang perilakunya didominasi oleh kekuatan hukum lokal, hukum agama dan hukum Negara.
Sebagai contoh perilaku carok yang dulu sering dikaitkan pada asyarakat Madura secara umum. Padahal, tidak semua masyarakat Madura selalu melakukan carok ketika merasa kehormatannya terganggu. Carok pada dasarnya adalah sebuah hukum lokal yang dianggap benar oleh masyarakat tertentu sebagai pembelaan atas harga diri. Tetapi, hukum lokal itu jelas tidak akan dipakai oleh golongan atau segmen masyarakat agamis yang sangat dipengaruhi oleh hukum syariat. "Kalau masyarakat pesantren misalnya. Jangankan membunuh, berkata kotor saja mereka enggan,"

B. Rumusan Masalah
  1. Seperti apakah kebudayaan masyarakat Madura itu ?
  2. Apakah ada pengaruh Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya ?
C.Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui Seperti apa kebudayaan masyarakat madura.
  2. Untuk mengetahui pengaruh kebudayaan masyarakat Madura terhadap komunikasi.
  3. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sosiologi Hukum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkawinan Salēp Tarjhâ Menurut Masyarakat Madura
Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah”. yang menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwaAgama Islam.
Akan tetapi di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan tradisi yang terkadang bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam, karena adat dan tradisi yang dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitos-mitos yang tidak dapat dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan aqidah Islamiyah, seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model Salēp Tarjhâ ini salah satunya.
Salēp Tarjhâ ini merupakan salah satu model perkawinan yang dilarang oleh masyarakat Madura, secara syari’at Islam sih dibenarkan, tapi adat-istiadat melarang perkawinan tersebut. Perkawinan Salēp Tarjhâ ini oleh masyarakat Madura diyakini dapat membawa bencana atau musibah bagi pelaku maupun keluarganya, yakni berupa sulit/melarat rezekinya, sakit-sakitan (ke’sakean), anak/keturunan pelaku perkawinan tersebut lahir dengan kondisi tidak normal (cacat) dan lain sebagainya.
Istilah Salēp Tarjhâ merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh Bengaseppo (sesepuh/nenek moyang) masyarakat Madura bagi perkawinan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri. Contoh : Ali dan Arin adalah dua orang bersaudara (kakak-adik) yang dijodohkan/dinikahkan secara silang dengan Rina dan Rizal yang juga dua orang bersaudara (kakak-adik).
Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa suatu perkawinan itu akan disebut sebagai perkawinan Salēp Tarjhâ, apabila orang yang menikah tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua) orang saudara kandung juga. Jadi, apabila modelnya tidak seperti ini, maka tidak disebut dengan perkawinan Salēp Tarjhâ .
Perkawinan Salēp Tarjhâ, secara normatif boleh-boleh saja dilakukan, karena di dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) tidak didapatkan satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut. Oleh karenanya, siapapun yang melakukan perkawinan model tersebut dibenarkan dan tidak dilarang.
Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salēp Tarjhâ berkaitan erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Tentunya mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang ngotot untuk tetap melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ ini, mereka diharuskan mengadakan ritual selamatan (slametthen) atau doa bersama dengan cara mengundang sanak famili, kerabat, tetangga, maupun para kiai (keyae), dengan tujuan agar orang tersebut (pelaku perkawinan Salēp Tarjhâ) dapat terbebas/terhindar dari mara bahaya mitos-mitos itu.
Adanya perbedaan pemahaman antara para kiai (keyae) dan sesepuh masyarakat tentang kepercayaan terhadap mitos perkawinanSalēp Tarjhâ tersebut pada akhirnya berimplikasi pada terkotaknya masyarakat ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: Golongan pertama, sebagian dari masyarakat memahami bahwa perkawinan Salēp Tarjhâ itu adalah sesuatu yang harus dihindari dan tidak boleh dilakukan karena sudah menjadi sebuah keyakinan bahwa perkawinan tersebut dapat mendatangkan malapetaka atau musibah bagi siapa saja yang tetap melakukannya. Golongan kedua, sebagian dari masyarakat “setengah-setengah” antara percaya dan tidak percaya atau “ragu-ragu” terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut. Golongan ketiga, sebagian dari masyarakat tidak percaya dan bahkan tidak yakin sama sekali terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut karena menurut pemahaman mereka keyakinan terhadap mitos-mitos sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Tampak sangat jelas bahwa ulama/kiai berusaha untuk mempertahankan “doktrin agama” yang diyakininya, sedangkan sesepuh masyarakat berusaha untuk mempertahankan “doktrin budaya” yang diwarisinya dari nenek moyang (bengaseppo) mereka secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sungguhpun masyarakat Madura merupakan masyarakat agamis ternyata dalam kehidupannya masih ada beberapa orang yang sangat sulit untuk meninggalkan tradisi-tradisi dan adat-istiadat yang diwarisi secara turun-temurun dari para leluhur/nenek moyang mereka.
Oleh karenanya perlu dilakukan kajian budaya perspektif agama Islam secara lebih intensif dan mendalam sehingga dapat memahami mana budaya yang perlu dilestarikan dan mana budaya yang harus ditinggalkan.

B.     Pengaruh Budaya Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya

Gonzales, Houston, dan Chen menyebutkan Budaya (culture) sebagai “komunitas makna dan sistem pengetahuan bersama yang bersifat lokal.” Komunikasi lintas budaya (intercultural communication) merujuk pada komunikasi antara individu-individu yang latar belakang budayanya berbeda. Individu-individu ini tidak harus selalu berasal dari negara yang berbeda. Budaya merupakan dasar dari perilaku manusia. Dengan kata lain, budaya menentukan bagaimana kita bertindak.
Berikut di bawah ini akan sedikit dijelaskan beberapa faktor budaya yang mempengaruhi komunikasi antar budaya dan kaitannya dengan budaya Madura :
Individualist – Collectivist
Seseorang tidak akan pernah 100 persen individual atau 100 persen kolektif, akan tetapi sikap  individual dan kolektif itu tidak pernah terpisah. Seseorang akan selalu berada di antara keduanya, terkadang sisi individualnya yang dominan terkadang pula sisi kolektifnya yang tinggi.
Menurut Hofstede dan Bond, individual culture adalah sikap seseorang yang hanya melihat dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka. Titik berat orang-orang individual ini hanya pada inisiatif dan penerimaan. Collectivistic Culture adalah bahwa seseorang merupakan anggota bagian dari suatu kelompok, yang mana kelompok itu akan melihat dirinya untuk loyalitas. Orang yang berada disini tidak akan bertindak atau berperilaku di luar kebiasaan kelompoknya. Dan titik berat dari orang-orang kolektif ini adalah berada dalam kelompok.
Orang-orang individual dan kolektif ini memiliki perbedaan antara keduanya. Individualistic memandang setiap orang sebagai orang yang memiliki potensi unik. Sedang collectivistic, memandang aktivitas kelompok tertentu yang dominan, harmoni, dan kerjasama diantara kelompok lebih diutamakan dari fungsi dan tanggung jawab individu.
Ada beberapa hal yang menarik dari orang-orang individual dan kolektif ini. Orang-orang individual akan lebih tertarik pada stimulus (sesuatu yang menantang), hedonism, prestasi, kemajuan, self-direction, dan aktivitas diri yang maksimal. Selain itu, orang-orang individual dalam berkomunikasi lebih dominan menyatakan pendapatnya secara langsung (to the point), eksplisit, tepat, pasti, konsisten dengan perasaan seseorang, dan apa yang dia rasa langsung di ucapkan.
Sedangkan orang-orang kolektif lebih tertarik pada tradisi ( nilai-nilai yang sudah biasanya terjadi), conformity (masa tenang, pengamanan), 
benevolence (menggunakan perilaku sesuai yang diharapkan lingkungan), serta cenderung menghindari hal-hal baru karena tidak mau meninggalkan zona aman. Dalam hal berkomunikasi orang-orang kolektif biasanya tidak langsung dalam mengungkapkan pendapatnya (masih banyak basa-basi), ambigu, tidak dinyatakan secara langsung (tersirat), menggunakan banyak simbol, dan dengan pembicaraan mereka lebih menangkap tetapi dengan penolakan dia lebih sensitif. Kebanyakan orang-orang kolektif akan menganggap orang atau grup lain berbeda dengan kelompoknya.
Jadi, jika kita simak uraian beberapa teori dan perbedaan antara individulistic dan collectivistic, dapat diambil kesimpulan bahwasannya suku Madura di satu sisi mereka menonjolkan individualistic dalam proses komunikasi. Orang-orang Madura pada umumnya dalam pengungkapan perasaan dan pola pikir mereka akan suatu hal cenderung tidak menggunakan basa basi langsung pada pembicaraan utama. Apabila mereka tidak setuju dan tidak menyukai sesuatu mereka akan langsung mengungkapkan rasa ketidak sukaan tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika ada sesuatu yang mereka sukai mereka pun akan mengatakan bahwa mereka menyukai hal tersebut. Hal ini dikarenakan msyarakat Madura lebih menghargai waktu daripada kemasan pesan yang akan disampaikan. Dan kadangkala orang-orang Madura terlihat sangat emosional dengan nada bicara yang agak keras, meskipun pesan yang disampaikan mempunyai makna atau arti yang biasa (tidak marah) dan itu merupakan kebiasaan masyarakat Madura karena memang di samping tata letak geografis penduduk Madura yang mayoritas hidup di pesisir, rumah-rumah antar penduduk itu pun agak berjauhan, sehingga dalam berkomunikasi dan memanggil seseorang pun memang sudah terbiasa dengan teriakan-teriakan kecil.
Adapun dalam hal meraih prestasi atau pekerjaan, memang ada sebagian masyarakat Madura yang memiliki ambisi untuk itu. Misalkan saja seperti orang Madura yang merantau ke daerah lain, sebagian dari mereka ada yang memiliki kecenderungan berkompetisi dengan orang lain dalam hal pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Sebab mereka mengetahui bahwa ada nilai budaya dalam masyarakat Madura yang berkenaan dengan hal ini yaitu “ Karkar colpe’ ” sebuah ungkapan yang dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan sikap mau bekerja keras dan cerdas, apabila kita ingin menuai hasil yang ingin dinikmati.
Sisi berikutnya yang lebih ditonjolkan oleh masyarakat Madura adalah sisi kolektivis. Hal ini tercermin dalam kehidupan keseharian mereka, setiap ada kesusahan dan kesenangan selalu dirasakan dan diselesaikan bersama, seperti kematian, pernikahan, dan sebagainya. Jika ada sebuah keluarga yang tertimpa musibah atau kematian, orang-orang Madura akan berduyung-duyung datang ke tempat keluarga tersebut untuk membantunya, menyolatkan dan mengantarkan janazahnya. Hingga urusan janazah itu terselesaikan semuanya termasuk membantu memberitahukan hutang-hutang si mayit kepada keluarganya, barulah mereka kembali ke rumah masing-masing. Bahkan terkadang ada beberapa orang yang mengikhlaskan hutang-hutang si mayit, karena mereka telah menganggap si mayit seperti keluarga sendiri dan telah banyak memberikan manfaat dan sesuatu yang berharga padanya baik itu materi maupun non materi. Sedang para tetangga dekat akan tetap membantu keluarga yang tertimpa musibah itu seperti memasakkan makanan bagi keluarga tersebut dan sanak saudaranya yang datang dari luar Madura hingga hari ke-7.
Tidak banyak berbeda dengan kematian. Dalam hal pernikahan jika ada keluarga yang akan mengadakan pesta pernikahan untuk putra-putrinya, maka sanak saudara, kerabat dekat atau jauh, teman dan tetangga, satu atau dua minggu sebelum acara pernikahan, mereka akan bersegera datang ke rumah keluarga tersebut untuk mengucapkan selamat sambil membawakan mereka beberapa panganan atau kebutuhan keluarga. Dan satu minggu sebelum acara dimulai para tetangga dekat dan sanak saudara yang tinggal di luar Madura akan datang ke rumah keluarga tersebut untuk membantu keluarga itu memasak dan mempersiapkan segala kebutuhan acara pernikahan.
Acara pernikahan yang diadakan oleh masyarakat Madura memiliki dua versi yang berbeda antara masyarakat Madura pesisir dan masyarakat Madura pedesaan. Misalkan seperti tempat asal penulis yakni dalam kelompok masyarakat Madura pesisir, jika ada keluarga yang mengadakan acara pernikahan maka acara akad nikah dan resepsi atau walimah diadakan pada satu waktu dan satu tempat. Setelah akad nikah selesai akan segera dilanjutkan dengan acara resepsi atau walimah. Di samping itu, ketika acara pernikahan tersebut keluarga dari mempelai pria hanya membawa kebutuhan pribadi yang dibutuhkan seperti kue, baju, buah2an, dan peralatan kecantikan yang nantinya akan diberikan kepada keluarga mempelai perempuan saat prosesi serah terima. Dan untuk mas kawinnya pun lebih sederhana jika dibandingkan dengan acara pernikahan masyarakat pegunungan, cukup dengan mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat maka itu sudah bisa dikatakan sah.
Acara pernikahan dalam masyarakat Madura pegunungan yang membedakan dengan masyarakat Madura pesisir adalah dalam pemberian mas kawin dan seserahan pada mempelai perempuan. Selain seperangkat alat shalat, mempelai pria juga diharuskan untuk memberi mas kawin berupa kebutuhan rumah tangga secara lengkap beserta perabotannya. Sehingga keluarga mempelai pria pun datang dengan membawa kebutuhan rumah tangga dan khusus mempelai pria dia lah yang memberikan perabotan rumah tangga pada mempelai perempuan. Hal ini karena masyarakat Madura pesisir lebih modern dan mau menerima budaya luar daerah. Sedangkan masyarakat Madura pegunungan masih memegang budaya asli.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat Madura yang memiliki beragam budaya ini perlu dilestarikan, terlebih lagi nilai-nilai budaya yang masih sarat dengan nilai-nilai Islam. Dan dengan mengetahui budaya Madura kita juga dapat mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang Madura, karena sebenarnya orang Madura itu tidaklah seperti anggapan orang kebanyakan, bahwa orang Madura itu kasar dan suka membunuh.
Selain itu juga, dengan mengetahui seluk beluk budaya Madura akan mempermudah kita sebagai mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, untuk berdakwah dan menyampaikan nilai-nilai Islam melalui budaya atau yang lebih dikenal dengan dakwah kultural.
Hal ini juga memberikan pengetahuan lebih mendalam tentang budaya dari tempat asal penullis, yakni budaya Madura. Dan dengan begitu, menjadikan penulis untuk ingin tetap melestarikan budaya Madura yang masih sesuai dengan ajaran Islam dan menyelipkan nilai-nilai Islam yang lain lagi untul memperkaya kebudayaan daerah.
Dan untuk orang-orang yang berasal dari luar Madura semoga dengan adanya makalah ini menjadi mengerti tentang budaya Madura, dan dapat mempermudah kita dalam berinteraksi dan berkomunikasi antar individu.









DAFTAR PUSTAKA
http://www.kabarmadura.com/suku-madura.html diakses tanggal 30 mei 2011
Makalah Taufiqurrahman. Tanpa tahun. Islam dan Budaya Madura.
West, Richard. 2009. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi : Introducing Communication Theory: Analysis and Application. Salemba Humanika: Jakarta.







 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar