MAKALAH
Di ajukan Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum
Dosen Pembimbing Cory Sayekti.SH

Disusun
Oleh:
· MOHAMMAD HOLID E.
· FATLUR RAHMAN
· FATHOR RAHMAN
·
·
UNIVERSITAS
ISLAM MADURA
FAKULTAS FKIP
JURUSAN PPKn
2012-2013
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SOSIOLOGI
HUKUM”. Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu
Kesehatan Jurusan PENJASKES Universitas Islam Madura.
Kami
menyadari bahwa keberhasilan penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
ini.
Dalam
penulisan makalah ini Kami juga
menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan dari pembaca agar kami dapat memberikan yang lebih baik untuk yang
selanjutnya. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi
pembaca ataupun penulis. Amien ...
Pamekasan,
15 November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.
Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A.Perkawinan Salēp
Tarjhâ Menurut Masyarakat Madura..................... 3
B. Pengaruh Budaya Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya. 5
BAB III
PENUTUP............................................................................................. 9
Kesimpulan.............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak hal menarik yang bisa diperbincangkan mengenai manusia Madura dan
perilakunya. Disimak dari segi apapun, ada keunikan tersendiri dari karakter
masyarakat yang dilahirkan di pulau garam tersebut. Demikian pula jika perilaku-perilaku
masyarakat Madura dikaji dari sudut pandang antropologi hukum.Setidaknya, ada
tiga dasar hukum yang sangat berpengaruh pada pola perilaku masyarakat Madura.
Yaitu, hukum masyarakat lokal setempat atau hukum adat, hukum agama, dan hukum
negara. Masing-masing hukum memiliki kekuatan tersendiri terhadap segment-nya.
Sebab, masyarakat Madura bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian pula. Yaitu,
golongan yang patuh pada hukum adat di pedalaman pedesaan, golongan yang patuh
pada hukum agama di ruang pesantren dan golongan yang patuh pada hukum negara
di perkotaan.
Dicontohkan,
pada perilaku masyarakat Madura. Ada golongan masyarakat tertentu yang
perilakunya didominasi oleh kekuatan hukum lokal, hukum agama dan hukum Negara.
Sebagai contoh
perilaku carok yang dulu sering dikaitkan pada asyarakat Madura secara umum.
Padahal, tidak semua masyarakat Madura selalu melakukan carok ketika merasa
kehormatannya terganggu. Carok pada dasarnya adalah sebuah hukum lokal yang
dianggap benar oleh masyarakat tertentu sebagai pembelaan atas harga diri.
Tetapi, hukum lokal itu jelas tidak akan dipakai oleh golongan atau segmen
masyarakat agamis yang sangat dipengaruhi oleh hukum syariat. "Kalau
masyarakat pesantren misalnya. Jangankan membunuh, berkata kotor saja mereka
enggan,"
B. Rumusan Masalah
- Seperti apakah kebudayaan masyarakat Madura itu ?
- Apakah ada pengaruh Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya ?
C.Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui Seperti apa kebudayaan masyarakat madura.
- Untuk mengetahui pengaruh kebudayaan masyarakat Madura terhadap komunikasi.
- Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sosiologi Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkawinan Salēp Tarjhâ Menurut
Masyarakat Madura
Masyarakat Madura di satu
sisi merupakan masyarakat yang agamis dengan menjadikan Islam sebagai
agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin dalam ungkapan “Abhantal
syahadat, asapo’ iman, apajung Allah”. yang menggambarkan bahwa
orang Madura itu berjiwaAgama Islam.
Akan tetapi
di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan tradisi yang terkadang
bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam, karena adat dan tradisi yang
dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitos-mitos yang tidak dapat
dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan aqidah Islamiyah,
seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model Salēp
Tarjhâ ini salah satunya.
Salēp
Tarjhâ ini merupakan salah satu model
perkawinan yang dilarang oleh masyarakat Madura, secara syari’at Islam sih
dibenarkan, tapi adat-istiadat melarang perkawinan tersebut. Perkawinan Salēp
Tarjhâ ini oleh masyarakat Madura diyakini dapat membawa bencana atau
musibah bagi pelaku maupun keluarganya, yakni
berupa sulit/melarat rezekinya, sakit-sakitan (ke’sakean),
anak/keturunan pelaku perkawinan tersebut lahir dengan kondisi tidak normal
(cacat) dan lain sebagainya.
Istilah Salēp Tarjhâ merupakan sebuah
istilah yang diberikan oleh Bengaseppo (sesepuh/nenek moyang)
masyarakat Madura bagi perkawinan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan)
putra-putri. Contoh : Ali dan Arin adalah dua orang bersaudara
(kakak-adik) yang dijodohkan/dinikahkan secara silang dengan Rina dan Rizal
yang juga dua orang bersaudara (kakak-adik).
Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa suatu perkawinan
itu akan disebut sebagai perkawinan Salēp Tarjhâ, apabila
orang yang menikah tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan
saudara kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua)
orang saudara kandung juga. Jadi, apabila modelnya tidak seperti ini, maka
tidak disebut dengan perkawinan Salēp Tarjhâ .
Perkawinan Salēp
Tarjhâ, secara normatif boleh-boleh saja dilakukan, karena di dalam
al-Qur’an dan al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah
terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) tidak didapatkan
satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut. Oleh
karenanya, siapapun yang melakukan perkawinan model tersebut dibenarkan dan
tidak dilarang.
Pada
dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salēp Tarjhâ berkaitan
erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos yang berkaitan dengan
perkawinan tersebut. Tentunya mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran
dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun.
Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan
musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya. Oleh karena itu, bagi
orang-orang yang ngotot untuk tetap melakukan perkawinan Salēp
Tarjhâ ini, mereka diharuskan mengadakan ritual selamatan (slametthen)
atau doa bersama dengan cara mengundang sanak famili, kerabat, tetangga, maupun
para kiai (keyae), dengan tujuan agar orang tersebut (pelaku
perkawinan Salēp Tarjhâ) dapat terbebas/terhindar dari mara bahaya
mitos-mitos itu.
Adanya perbedaan pemahaman antara para kiai (keyae) dan
sesepuh masyarakat tentang kepercayaan terhadap mitos perkawinanSalēp Tarjhâ tersebut
pada akhirnya berimplikasi pada terkotaknya masyarakat ke dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu: Golongan pertama, sebagian dari masyarakat
memahami bahwa perkawinan Salēp Tarjhâ itu adalah sesuatu yang
harus dihindari dan tidak boleh dilakukan karena sudah menjadi sebuah keyakinan
bahwa perkawinan tersebut dapat mendatangkan malapetaka atau musibah bagi siapa
saja yang tetap melakukannya. Golongan kedua, sebagian dari
masyarakat “setengah-setengah” antara percaya dan tidak percaya atau
“ragu-ragu” terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut. Golongan
ketiga, sebagian dari masyarakat tidak percaya dan bahkan tidak yakin sama
sekali terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut karena
menurut pemahaman mereka keyakinan terhadap mitos-mitos sangat bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Tampak sangat jelas bahwa ulama/kiai berusaha
untuk mempertahankan “doktrin agama” yang diyakininya, sedangkan sesepuh
masyarakat berusaha untuk mempertahankan “doktrin budaya” yang diwarisinya dari
nenek moyang (bengaseppo) mereka secara turun-temurun dari generasi ke
generasi berikutnya. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa sungguhpun masyarakat Madura merupakan masyarakat
agamis ternyata dalam kehidupannya masih ada beberapa orang
yang sangat sulit untuk meninggalkan tradisi-tradisi dan adat-istiadat
yang diwarisi secara turun-temurun dari para leluhur/nenek moyang mereka.
Oleh karenanya perlu dilakukan kajian budaya perspektif
agama Islam secara lebih intensif dan mendalam sehingga dapat memahami mana
budaya yang perlu dilestarikan dan mana budaya yang harus ditinggalkan.
B.
Pengaruh
Budaya Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya
Gonzales, Houston, dan Chen
menyebutkan Budaya (culture) sebagai “komunitas
makna dan sistem pengetahuan bersama yang bersifat lokal.” Komunikasi lintas budaya (intercultural
communication) merujuk pada komunikasi antara individu-individu yang latar
belakang budayanya berbeda. Individu-individu ini tidak harus selalu berasal
dari negara yang berbeda. Budaya merupakan dasar dari perilaku manusia. Dengan
kata lain, budaya menentukan bagaimana kita bertindak.
Berikut di bawah ini akan sedikit
dijelaskan beberapa faktor budaya yang mempengaruhi komunikasi antar budaya dan
kaitannya dengan budaya Madura :
Individualist –
Collectivist
Seseorang tidak akan pernah 100
persen individual atau 100 persen kolektif, akan tetapi sikap individual
dan kolektif itu tidak pernah terpisah. Seseorang akan selalu berada di antara
keduanya, terkadang sisi individualnya yang dominan terkadang pula sisi
kolektifnya yang tinggi.
Menurut Hofstede dan Bond, individual culture adalah sikap seseorang yang hanya
melihat dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka. Titik berat orang-orang
individual ini hanya pada inisiatif dan penerimaan. Collectivistic Culture adalah bahwa seseorang merupakan
anggota bagian dari suatu kelompok, yang mana kelompok itu akan melihat dirinya
untuk loyalitas. Orang yang berada disini tidak akan bertindak atau berperilaku
di luar kebiasaan kelompoknya. Dan titik berat dari orang-orang kolektif ini
adalah berada dalam kelompok.
Orang-orang individual dan kolektif ini memiliki perbedaan
antara keduanya. Individualistic memandang setiap orang sebagai orang
yang memiliki potensi unik. Sedang collectivistic, memandang aktivitas kelompok tertentu
yang dominan, harmoni, dan kerjasama diantara kelompok lebih diutamakan dari
fungsi dan tanggung jawab individu.
Ada beberapa hal yang menarik dari
orang-orang individual dan kolektif ini. Orang-orang individual akan lebih
tertarik pada stimulus (sesuatu yang menantang), hedonism, prestasi, kemajuan, self-direction, dan aktivitas
diri yang maksimal. Selain itu, orang-orang individual dalam berkomunikasi
lebih dominan menyatakan pendapatnya secara langsung (to the point),
eksplisit, tepat, pasti, konsisten dengan perasaan seseorang, dan apa yang dia
rasa langsung di ucapkan.
Sedangkan orang-orang kolektif lebih tertarik pada tradisi
( nilai-nilai yang sudah biasanya terjadi), conformity (masa tenang, pengamanan),
benevolence (menggunakan perilaku sesuai yang diharapkan lingkungan),
serta cenderung menghindari hal-hal baru karena tidak mau meninggalkan zona
aman. Dalam hal berkomunikasi orang-orang kolektif biasanya tidak langsung
dalam mengungkapkan pendapatnya (masih banyak basa-basi), ambigu, tidak
dinyatakan secara langsung (tersirat), menggunakan banyak simbol, dan dengan
pembicaraan mereka lebih menangkap tetapi dengan penolakan dia lebih sensitif.
Kebanyakan orang-orang kolektif akan menganggap orang atau grup lain berbeda
dengan kelompoknya.
Jadi, jika kita simak uraian
beberapa teori dan perbedaan antara individulistic dan collectivistic,
dapat diambil kesimpulan bahwasannya suku Madura di satu sisi mereka
menonjolkan individualistic dalam proses komunikasi. Orang-orang Madura pada
umumnya dalam pengungkapan perasaan dan pola pikir mereka akan suatu hal
cenderung tidak menggunakan basa basi langsung pada pembicaraan utama. Apabila
mereka tidak setuju dan tidak menyukai sesuatu mereka akan langsung
mengungkapkan rasa ketidak sukaan tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika ada
sesuatu yang mereka sukai mereka pun akan mengatakan bahwa mereka menyukai hal
tersebut. Hal ini dikarenakan msyarakat Madura lebih menghargai waktu daripada
kemasan pesan yang akan disampaikan. Dan kadangkala orang-orang Madura terlihat
sangat emosional dengan nada bicara yang agak keras, meskipun pesan yang
disampaikan mempunyai makna atau arti yang biasa (tidak marah) dan itu
merupakan kebiasaan masyarakat Madura karena memang di samping tata letak
geografis penduduk Madura yang mayoritas hidup di pesisir, rumah-rumah antar
penduduk itu pun agak berjauhan, sehingga dalam berkomunikasi dan memanggil
seseorang pun memang sudah terbiasa dengan teriakan-teriakan kecil.
Adapun dalam hal meraih prestasi
atau pekerjaan, memang ada sebagian masyarakat Madura yang memiliki ambisi
untuk itu. Misalkan saja seperti orang Madura yang merantau ke daerah lain,
sebagian dari mereka ada yang memiliki kecenderungan berkompetisi dengan orang
lain dalam hal pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Sebab mereka
mengetahui bahwa ada nilai budaya dalam masyarakat Madura yang berkenaan dengan
hal ini yaitu “ Karkar colpe’ ” sebuah ungkapan yang
dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan sikap mau bekerja keras dan cerdas,
apabila kita ingin menuai hasil yang ingin dinikmati.
Sisi berikutnya yang lebih
ditonjolkan oleh masyarakat Madura adalah sisi kolektivis. Hal ini tercermin
dalam kehidupan keseharian mereka, setiap ada kesusahan dan kesenangan selalu
dirasakan dan diselesaikan bersama, seperti kematian, pernikahan, dan
sebagainya. Jika ada sebuah keluarga yang tertimpa musibah atau kematian,
orang-orang Madura akan berduyung-duyung datang ke tempat keluarga tersebut
untuk membantunya, menyolatkan dan mengantarkan janazahnya. Hingga urusan
janazah itu terselesaikan semuanya termasuk membantu memberitahukan
hutang-hutang si mayit kepada keluarganya, barulah mereka kembali ke rumah
masing-masing. Bahkan terkadang ada beberapa orang yang mengikhlaskan
hutang-hutang si mayit, karena mereka telah menganggap si mayit seperti
keluarga sendiri dan telah banyak memberikan manfaat dan sesuatu yang berharga
padanya baik itu materi maupun non materi. Sedang para tetangga dekat akan
tetap membantu keluarga yang tertimpa musibah itu seperti memasakkan makanan
bagi keluarga tersebut dan sanak saudaranya yang datang dari luar Madura hingga
hari ke-7.
Tidak banyak berbeda dengan
kematian. Dalam hal pernikahan jika ada keluarga yang akan mengadakan pesta
pernikahan untuk putra-putrinya, maka sanak saudara, kerabat dekat atau jauh,
teman dan tetangga, satu atau dua minggu sebelum acara pernikahan, mereka akan
bersegera datang ke rumah keluarga tersebut untuk mengucapkan selamat sambil
membawakan mereka beberapa panganan atau kebutuhan keluarga. Dan satu minggu
sebelum acara dimulai para tetangga dekat dan sanak saudara yang tinggal di
luar Madura akan datang ke rumah keluarga tersebut untuk membantu keluarga itu
memasak dan mempersiapkan segala kebutuhan acara pernikahan.
Acara pernikahan yang diadakan oleh
masyarakat Madura memiliki dua versi yang berbeda antara masyarakat Madura
pesisir dan masyarakat Madura pedesaan. Misalkan seperti tempat asal penulis
yakni dalam kelompok masyarakat Madura pesisir, jika ada keluarga yang
mengadakan acara pernikahan maka acara akad nikah dan resepsi atau walimah
diadakan pada satu waktu dan satu tempat. Setelah akad nikah selesai akan
segera dilanjutkan dengan acara resepsi atau walimah. Di samping itu, ketika
acara pernikahan tersebut keluarga dari mempelai pria hanya membawa kebutuhan
pribadi yang dibutuhkan seperti kue, baju, buah2an, dan peralatan kecantikan
yang nantinya akan diberikan kepada keluarga mempelai perempuan saat prosesi
serah terima. Dan untuk mas kawinnya pun lebih sederhana jika dibandingkan
dengan acara pernikahan masyarakat pegunungan, cukup dengan mushaf Al-Quran dan
seperangkat alat shalat maka itu sudah bisa dikatakan sah.
Acara pernikahan dalam masyarakat
Madura pegunungan yang membedakan dengan masyarakat Madura pesisir adalah dalam
pemberian mas kawin dan seserahan pada mempelai perempuan. Selain seperangkat
alat shalat, mempelai pria juga diharuskan untuk memberi mas kawin berupa
kebutuhan rumah tangga secara lengkap beserta perabotannya. Sehingga keluarga
mempelai pria pun datang dengan membawa kebutuhan rumah tangga dan khusus
mempelai pria dia lah yang memberikan perabotan rumah tangga pada mempelai
perempuan. Hal ini karena masyarakat Madura pesisir lebih modern dan mau
menerima budaya luar daerah. Sedangkan masyarakat Madura pegunungan masih
memegang budaya asli.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat Madura yang memiliki
beragam budaya ini perlu dilestarikan, terlebih lagi nilai-nilai budaya yang
masih sarat dengan nilai-nilai Islam. Dan dengan mengetahui budaya Madura kita
juga dapat mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan
orang Madura, karena sebenarnya orang Madura itu tidaklah seperti anggapan orang
kebanyakan, bahwa orang Madura itu kasar dan suka membunuh.
Selain itu juga, dengan mengetahui
seluk beluk budaya Madura akan mempermudah kita sebagai mahasiswa jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam, untuk berdakwah dan menyampaikan nilai-nilai Islam
melalui budaya atau yang lebih dikenal dengan dakwah kultural.
Hal ini juga memberikan pengetahuan
lebih mendalam tentang budaya dari tempat asal penullis, yakni budaya Madura.
Dan dengan begitu, menjadikan penulis untuk ingin tetap melestarikan budaya
Madura yang masih sesuai dengan ajaran Islam dan menyelipkan nilai-nilai Islam
yang lain lagi untul memperkaya kebudayaan daerah.
Dan untuk orang-orang yang berasal
dari luar Madura semoga dengan adanya makalah ini menjadi mengerti tentang
budaya Madura, dan dapat mempermudah kita dalam berinteraksi dan berkomunikasi
antar individu.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kabarmadura.com/suku-madura.html diakses tanggal 30 mei 2011
http://indoculture.wordpress.com/2008/11/10/budaya-madura-bukan-kepanjangan-budaya-jawa/ diakses tanggal 30 mei 2011
http://www.slideshare.net/fhanardiant/berbagai-faktor-budaya-dlm-kpg diakses tanggal 2 Juni 2011
Makalah Taufiqurrahman. Tanpa tahun. Islam dan Budaya Madura.
West, Richard. 2009. Pengantar
Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi : Introducing Communication Theory:
Analysis and Application. Salemba Humanika: Jakarta.
Sumber : http://blog.umy.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar