XXX

Minggu, 30 Desember 2012

ISLAM DAN PERDA SYARI'AT ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Belakangan ini muncul polemik yang cukup tajam tentang implementasi peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam. Tak kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai fraksi mengemukakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan perda tersebut di berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara, yaitu Pancasila. Selain itu, perda bernuansa syariat Islam juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam diasumsikan suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut. Fakta tentang hal ini telah muncul Serambi Jerussalem di Kabupaten Manokwari yang hendak memberlakukan kitab Injil di kabupaten tersebut.
Aksi ke-56 anggota DPR itu direspons oleh sejumlah anggota DPR lainnya. Sebanyak 134 anggota DPR yang menentang pembatalan peraturan daerah bernuansa syariat Islam mendatangi pimpinan DPR. Mereka mengirim surat yang isinya kontramemorandum atas usulan 56 anggota DPR lainnya yang meminta agar perda tersebut dibatalkan. Menurut mereka adanya perda tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil. Keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa.

B. Rumusan Masalah
  1. Seperti apa Sketsa Historis Perjuangan Syariat Islam ?
  2. Bagaimana semestinya Syariah dan Hukum Islam ?
  3. Bagaimana Islam,Perda syari’ah Islam  dan Indonesia Kedepannya ?
C.Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui Historis Perjuangan Syariat Islam.
  2. Untuk mengetahui Seperti Syariah dan Hukum Islam.
  3. Agar masyarakat mengetahui Perda syari’ah Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sketsa Historis Perjuangan Syariat Islam                    
Sebelum perda syariat Islam merebak belakangan ini, jauh-jauh hari upaya untuk formalisasi syariat Islam telah mewarnai sejarah pembentukan negara kesatuan Indonesia. Ketika itu, terjadi perdebatan yang cukup alot antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Kelompok pertama berjuang mati-matian demi terwujudnya gagasan pembentukan negara Islam. Sementara kelompok kedua secara halus menolaknya. Konsepsi formalit negara berasaskan Islam yang diusung kelompok pertama berpijak pada keyakinan bahwa negara, sebagaimana yang digagas Yusuf Qardhawi (1997), bukan hanya media pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tetapi juga harus mampu menjamin pemberlakuan syariah Islam secara total.
Tetapi, bagi kelompok nasionalis, cita-cita itu tidak tak lebih sekadar uthopia, mengingat kondisi sosio-religius rakyat Indonesia amat plural. Kenyataan bahwa di Indonesia tidak saja agama Islam yang tumbuh subur tetapi juga agama-agama lain menjadi alasan kuat kelompok nasionalis dalam mematahkan harapan kelompok Islam untuk memformalisasikan syariat Islam. Dengan berdasar pada keragaman etnisitas, budaya, bahasa serta wilayah meniscayakan didirikannya negaradi atas landasan nasionalisme.
Kontroversi penerapan syariat Islam secara formal di Indonesia terus berlangsung dalam berbagai derivasinya. Di tahun 1945, syariat Islam gugur satu hari setelah proklamasi kemerdekaan5. Di kurun 1956-1959, Konstituante berdebat keras nyaris deadlock berkait dengan eksistensi syariat Islam dalam konstitusi. Dalam reformasi konstitusi 1999-2002, MPR baru mampu bersepakat untuk tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta di detik-detik akhir proses perubahan UUD 1945.
Fenomena historis tersebut menjelaskan bahwa syariat Islam tidak diformalkan menjadi aturan konstitusi dalam pemaknaan sebagai dasar negara. Periode 1999-2002 bahkan mencatat, dukungan sosio-politik masuknya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi jauh menurun dibandingkan dengan tahun 1945 dan 1956-1959.
Namun itu bukan berarti syariat Islam tidak menjadi bagian hukum nasional. Undang-Undang(UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam adalah salah satu contohnya. Undang-undangisasi syariat Islam semakin marak di akhir 1980- an dan era 1990-an. Mengenai fenomena terakhir ini memperlihatkan bahwa sistem hukum Islam sesungguhnya berperan sebagai sumber inspirasi dalam perkembangan dan pengembangan hukum nasional.
Fenomena lain yang tak kalah menarik dimunculkan adalah dikukuhkannya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1989, kedudukan peradilan agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya pokok-pokok reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung, kekuatan peradilan agama Islam mulai berkurang. Dengan kata lain, peradilan Islam berada di bawah Mahkamah Agung.
Tamsil yang lain, diberlakukannya UU tentang Perbankan 1992 yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Tahun 1993 dalam rangka pelaksanaan UU Perbankan. Atas dasar itulah, sistem operasi Bank Mu’amalat Indonesia berdasarkan syari’at Islam diakui secara hukum. Sejak itu, berkembang luas praktik penerapan sistem muamalat dalam sistem perekonomian nasional, terutama penerapannya dalam dunia usaha.
Untuk lebih mengukuhkan kedudukan hukum muamalat ini, UU Perbankan Tahun 1992 telah diperbaharui dengan UU tentang Perbankan tahun 1998. Dengan demikian, pemberlakuan sistem hukum Islam di bidang perbankan semakin tegas. Selain itu, menyusul pula pemberlakuan hukum Islam di bidang-bidang lain. Misalnya,pada tahun 1998 telah berhasil disahkan UU tentang Zakat. Pada tahun 1999 disahkan pula UU tentang Haji. Dan yang paling menarik adalah perkembangan mutakhir, yaitu direvisinya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 Tahun 2003 yang memberi dan menambah kompetensi Peradilan Agama tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan hukum keluarga umat Islam, tetapi juga hukum bisnis syariah.
B.  Syariah dan Hukum Islam
Adalah penting mengungkap makna syariat sebelum menampilkan pandangan fiqh tentang kontroversi perda syariat. Di dalam al-Qur’an kata “syariat” (yang dalam bahasa Arab dibaca syari’ah) terdapat pada empat tempat, dua di antaranya menggunakan kata kerja “syara’a” yaitu dalam Surat al-Syura ayat 13 dan 21. Sedangkan dua lainnya termaktub dalam Surat al-Maidah ayat 48 dan Surat al-Jatsiyah ayat 18 dengan menggunakan kata benda “syir’atan” dan “syari’ah”.
Kata “syariat” sebelum kemunculan Islam dimaksudkan untuk makna sumber air yang dijadikan sebagai penyembuh dahaga. Atas dasar ini, para ahli bahasa menggunakan kata “syariat” untuk makna-makna yang masih berdekatan. Misalnya, al-thariq, al-minhaj, al-‘adah, al-sabil dan al-sunnah. Sehingga dapat dipastikan bahwa penggunaan kata “syariat” di dalam al­Quran bersifat isti’arah. Maksudnya, mengganti makna asli syariat—dalam hal ini adalah sumber air—dengan makna lain, yaitu hadyullahi (hidayah atau petunjuk Allah).
Dengan mencermati makna syariat dari ahli bahasa tersebut,maka empat ayat yang diisyaratkan di atas mengandung dua prinsip universal, yaitu, menegakkan eksistensi agama dan tidak ada pembedaan di dalamnya. Pemaknaan ini akan tampak sangat jelas pada ayat 48 Surat al-Maidah. Ditegaskan bahwa Tuhan telah menjadikan syir’ah dan minhaj bagi setiap umat. Karenanya, perbedaan pada syir’ah dan minhaj berkaitan dengan hukum-hukum praktis, bukan pada konsep dasar teoritisnya. Asas iman semua agama samawi (al-adyan al-kitabiyah) adalah satu, kendati hukum-hukum praktis yang mengatur perilaku penganutnya berbeda-beda. Pemaknaan ini jelas terakomodasi dalam Surat al-Jatsiyah ayat 18 yang menetapkan bahwa syariat berlawanan hawa nafsu. Artinya, syariatmeliputi asas-asas yang bersifat permanen, kaidah dan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan hawa nafsu dan al-nazwah.
Akan tetapi pemahaman syariatyang sering digunakan para ahli fiqh menunjuk pada dua makna yang berbeda. Pertama, syariat sebagai hukum Tuhan dalam teks-teks sakral (nusus al-wahyu). Kedua,hukum-hukum yang disimpulkan oleh para ahli fiqh dari teks-teks sakral tersebut berbasis pada tradisi masyarakat (‘uruf), dan kebutuhan hidup (al-masalih al-mursalah) mereka. Makna syariat yang kedua inilah yang lazim disebut fiqh atau hukum Islam.
Namun jika mencermati fenomena syariat dengan teliti terdapat tiga pemaknaan yang lazim mengemuka. Pertama, syariatsebagai prinsip­prinsip universal mencerminkan kehendak Tuhan (al-iradah al-ilahiyah) yang berkaitan dengan perbuatan dan keberadaan manusia. Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan kehendak Tuhan tentang tujuan penciptaan manusia dan eksistensinya. Termasuk dalam hal ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan perilaku manusia.
Dalam waktu yang sama kehendak dan tujuan Tuhan tampak jelas dalam sejumlah ayat-ayat di dalam al-Qur’an. Istilah “amrun”lazim digunakan dalam ayat-ayat tersebut untuk menunjuk pada kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan yang berkaitan dengan eksistensi dan perbuatan manusia diungkap dengan dua model perintah (awamir).
Adakalanya perintah tersebut menggunakan perantara manusia (awamir al-mutajassadah ‘abra al-wasithah al-insaniyah). Perintah model ini disebut hukum-hukum yang bersifat pilihan (ahkam khiyariyah). Kita bisa menemukan model perintah ini dalam Surat al-Thalaq ayat 5, al-Qadar ayat 4, dan al-Jatsiyah ayat 17.
Model perintah yang lain berupa hukum-hukum yang bersifat lansung, tanpa perantara manusia (al-awamir al-mutajassadah mubasyarah fi al­muhith al-maddi wa al-insani duna wasathah basyariyah). Sehubungan dengan ini, al-Qur’an menggunakan istilah qadha’ dan qadar seperti dalam Surat al-Maryam ayat 35, al-Qamar ayat 12, dan al-Ahzab ayat 38. Namun demikian,terdapat qadha’ dan qadarTuhan yang dapat diketahui oleh manusia dengan cara melakukan studi terhadap hukum-hukum alam yang mengatur fenomena alam, fenomena masyarakat, dan sejarah. Hal ini dapat kita amati dalam Surat al-Nahl ayat 12, al-Rum ayat 25, al-Jatsiyah ayat
C.  Syariat Islam, Perda Syariah dan Masa Depan Indonesia
Kata “syariat Islam” berarti adalah “jalan menuju penyerahan diri (kepada Allah)”. Sebagai seorang Mukmin, sudah tentu saya akan mendukung tegaknya syariat Islam di muka bumi ini, dengan segala daya upaya untuk mendorong setiap manusia untuk benar-benar memahami hakikat hidup dan berserah diri hanya kepada Allah.
Perlu diingat bahwa jalan menuju penyerahan diri kepada Allah adalah sebuah pergulatan pribadi untuk menemukan Tuhan yang telah menciptakannya. Ini adalah pencarian yang tidak akan pernah berhenti hingga nafas terakhir.
Agama hanyalah sebuah jalan dan bukanlah tujuan akhir. Dengan demikian, ketika anda telah mengikrarkan diri memeluk agama Islam, bukan berarti perkaranya selesai. Anda tetap dituntut untuk meraih keimanan dan ketakwaan sejati, yang merupakan sebuah perjuangan hingga akhir hayat. Semua itu harus dilandasi oleh ketulusan dan keikhlasan untuk mengabdi hanya kepada Allah (QS 4 : 125, QS 39 : 2, QS 40 : 65) dan bukan karena keterpaksaan (QS 2 : 256).
Nah, bagaimana mungkin pergulatan pribadi seorang hamba Allah untuk menuju Sang Pencipta itu (yang merupakan urusan yang sangat pribadi) harus diatur dalam sebuah undang-undang? Bukankah ini berarti sebuah pemaksaan kepada seseorang untuk berjalan di jalan penyerahan diri tersebut? Sekali lagi, keimanan dan ketakwaan itu tidak bisa dipaksakan! Bahkan Allah sendiri mempersilahkan manusia untuk kafir, dengan konsekuensi akhirat yang harus siap ditanggung olehnya (QS 18 : 29).
Lagi pula saya melihat perda-perda syariah yang bertebaran di seluruh Republik Indonesia ini rancu dalam memahami apa itu syariat Islam. Yang terjadi adalah penerapan syariat adat-istiadat, syariat Melayu, syariat Arab, syariat Salafi, dll. Bagaimana mungkin mereka mengklaim sedang menegakkan syariat Islam sementara mereka justru menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam dengan pemaksaan terhadap keimanan dan ketakwaan, jauh sekali dari Alquran yang sangat toleran dan mengakui pluralitas.
Dalam kacamata politik saya yang awam ini, saya cenderung melihat bahwa kepala-kepala daerah yang mengesahkan perda-perda syariah itu sesungguhnya tidak mengerti betul apa yang mereka lakukan, karena sebenarnya motif mereka lebih bernuansa politik daripada agama. Mereka melakukannya (perda syariah) hanya demi menarik konstituen massa Islam dalam pemilu kepala daerah. Mereka juga tidak paham bahwa berdasarkan Pasal 10 UU No. 32 th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah : bahwa urusan agama, politik luar negeri, pertahanan, dan moneter adalah merupakan urusan pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat juga lalai membiarkan perda-perda syariah itu bermunculan dengan melanggar Pasal 10 UU No. 32 th. 2004










BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terlepas dari sekeranjang kontroversi tersebut, perlu kiranya kita ketahui bersama bahwa syariah mau tidak mau memang telah menjadi sebuah system hukum yang amat mempengaruhi khazanah hukum secara global. Walaupun secara lokal, naik turunnya hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan kebijakan penguasa, tapi seiring dengan arus deras tren global, sistem yang dibawa nabi Muhammad 15 abad yang lalu mulai dilirik dan dikembangkan sebagai satu solusi oleh masyarakat dan menjadi kajian dan perdebatan utama forum hukum dunia. Karena itu para sarjana barat seperti Matthew Lippman, Sean Mc Coville dan Mordechai Yerushalmi kembali mengakui bahwa Hukum Islam kini telah menjadi salah satu dari tiga tradisi hukum yang utama terkait dengan dunia hukum dan filosofi dari mayoritas bangsa-bangsa di dunia.

Harus diakui sebagai sebuah sistem hukum yang sangat komprehensif, subtansi doktrin hukum yang bersumber khususnya dari Al-Qur’an memang amat sulit untuk dibantah ke universalannya. Namun sangat sering ditemukan bahwa problem syariat selalu terletak pada penafsiran, pengelolaan dan penerapannya yang banyak dilakukan oleh Negara dan birokrasi pemerintahan. Sebagai sebuah sumber dari kebenaran hukum, subtansi-subtansi yang dikandung oleh syariat juga sering mulai memudar di mata masyarakat terutama dikalangan yang sejak awal tidak mau memahami dan cenderung memberikan stigma negatif terhadap syariat.

Tumbuhnya Perda Syari’ah merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dari berbagai sisi, baik sisi politik, budaya, hukum maupun agama. Perda syari’at mencuat ketika otonomi luas diberikan kepada daerah dan pada saat yang sama dialog dan perdebatan tenetang syari’at islam dalam perubahan undang-undang dasar terus menghiasi pemberitaan media.



DAFTAR PUSTAKA
Gatra. Nomor 33 edisi 29 Juni 2006.
Liputan. 6 SCTV, 5/07/2006.
Mahfud, Moh MD. Politik Hukum Nasional dan Posisi Syari’at Islam, Makalah Studium Generale Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sabtu 9 September 2006.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti).
Qardlawi, Yusuf, Introduction to Islam (Kairo: Islamic Inc, 1997).
Safi, Lu’ay, al-Aqidah wa al-Siyasah: Ma’alim Nazariyatli al-Daulah al­Islamiyah, Virginia: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami


Tidak ada komentar:

Posting Komentar