BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini muncul polemik yang
cukup tajam tentang implementasi peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam. Tak kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai fraksi
mengemukakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan perda tersebut di berbagai daerah karena
dinilai melanggar amanat
konstitusi dan ideologi negara, yaitu Pancasila. Selain itu, perda bernuansa syariat Islam juga
berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas
Islam diasumsikan suatu
saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut. Fakta tentang hal ini telah muncul Serambi
Jerussalem di Kabupaten
Manokwari yang hendak memberlakukan kitab Injil di kabupaten tersebut.
Aksi ke-56 anggota DPR itu direspons oleh sejumlah anggota
DPR lainnya. Sebanyak 134 anggota DPR yang
menentang pembatalan peraturan daerah bernuansa syariat Islam mendatangi
pimpinan DPR. Mereka mengirim surat
yang isinya kontramemorandum atas usulan 56 anggota DPR lainnya yang meminta agar perda tersebut dibatalkan.
Menurut mereka adanya perda tersebut
bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang
umumnya dilakukan oleh masyarakat
kecil. Keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa.
B. Rumusan Masalah
- Seperti apa Sketsa Historis Perjuangan Syariat Islam ?
- Bagaimana semestinya Syariah dan Hukum Islam ?
- Bagaimana Islam,Perda syari’ah Islam dan Indonesia Kedepannya ?
C.Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui Historis Perjuangan Syariat Islam.
- Untuk mengetahui Seperti Syariah dan Hukum Islam.
- Agar masyarakat mengetahui Perda syari’ah Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sketsa Historis Perjuangan Syariat Islam
Sebelum perda syariat Islam merebak
belakangan ini, jauh-jauh hari upaya untuk formalisasi syariat Islam telah mewarnai sejarah
pembentukan negara
kesatuan Indonesia. Ketika itu, terjadi perdebatan yang cukup alot antara kelompok Islam dan
kelompok nasionalis. Kelompok pertama berjuang mati-matian demi terwujudnya gagasan pembentukan
negara Islam. Sementara
kelompok kedua secara halus menolaknya. Konsepsi formalit negara berasaskan Islam yang diusung
kelompok pertama berpijak pada keyakinan bahwa negara, sebagaimana yang digagas Yusuf Qardhawi (1997), bukan hanya media pencapaian
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tetapi juga harus mampu menjamin pemberlakuan syariah Islam secara total.
Tetapi, bagi
kelompok nasionalis, cita-cita itu tidak tak lebih sekadar uthopia, mengingat kondisi sosio-religius
rakyat Indonesia amat plural. Kenyataan bahwa di Indonesia tidak saja agama Islam yang tumbuh subur tetapi juga agama-agama lain menjadi
alasan kuat kelompok nasionalis dalam mematahkan harapan kelompok Islam untuk memformalisasikan syariat Islam. Dengan berdasar pada
keragaman etnisitas, budaya, bahasa serta wilayah meniscayakan didirikannya negaradi atas landasan nasionalisme.
Kontroversi
penerapan syariat Islam secara formal di Indonesia terus berlangsung dalam berbagai derivasinya.
Di tahun 1945, syariat Islam gugur satu hari setelah proklamasi kemerdekaan5. Di kurun 1956-1959, Konstituante berdebat keras nyaris deadlock berkait dengan eksistensi syariat Islam dalam konstitusi. Dalam
reformasi konstitusi 1999-2002, MPR baru mampu bersepakat untuk tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta di detik-detik akhir proses perubahan UUD 1945.
Fenomena historis tersebut
menjelaskan bahwa syariat Islam tidak diformalkan menjadi aturan konstitusi dalam pemaknaan
sebagai dasar negara.
Periode 1999-2002 bahkan mencatat, dukungan sosio-politik masuknya tujuh kata Piagam Jakarta ke
dalam konstitusi jauh menurun dibandingkan
dengan tahun 1945 dan 1956-1959.
Namun itu bukan berarti
syariat Islam tidak menjadi bagian hukum nasional. Undang-Undang(UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang tidak
sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam adalah salah satu contohnya. Undang-undangisasi syariat
Islam semakin marak di akhir 1980- an dan era 1990-an. Mengenai fenomena terakhir ini memperlihatkan bahwa
sistem hukum Islam
sesungguhnya berperan sebagai sumber inspirasi dalam perkembangan dan pengembangan hukum nasional.
Fenomena
lain yang tak kalah menarik dimunculkan adalah dikukuhkannya sistem peradilan agama yang diakui dalam
sistem peradilan nasional
di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun
1989, kedudukan peradilan agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan
ditetapkannya pokok-pokok reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem
pembinaan peradilan
diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung, kekuatan peradilan agama Islam
mulai berkurang. Dengan kata lain, peradilan
Islam berada di bawah Mahkamah Agung.
Tamsil yang lain,
diberlakukannya UU tentang Perbankan 1992 yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Tahun 1993
dalam rangka pelaksanaan
UU Perbankan. Atas dasar itulah, sistem operasi Bank Mu’amalat Indonesia berdasarkan
syari’at Islam diakui secara hukum. Sejak itu, berkembang luas praktik penerapan sistem muamalat
dalam sistem perekonomian nasional, terutama
penerapannya dalam dunia usaha.
Untuk lebih mengukuhkan
kedudukan hukum muamalat ini, UU Perbankan Tahun 1992 telah diperbaharui dengan UU tentang Perbankan tahun 1998. Dengan demikian,
pemberlakuan sistem hukum Islam di bidang perbankan semakin tegas. Selain itu, menyusul pula
pemberlakuan hukum Islam
di bidang-bidang lain. Misalnya,pada tahun 1998 telah berhasil disahkan UU tentang Zakat. Pada tahun
1999 disahkan pula UU tentang Haji. Dan yang paling menarik adalah perkembangan mutakhir, yaitu direvisinya
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 Tahun 2003 yang memberi dan menambah
kompetensi Peradilan Agama tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan hukum keluarga umat Islam,
tetapi juga hukum bisnis syariah.
B.
Syariah dan Hukum Islam
Adalah penting
mengungkap makna syariat sebelum menampilkan pandangan fiqh tentang kontroversi perda syariat. Di
dalam al-Qur’an kata “syariat”
(yang dalam bahasa Arab dibaca syari’ah)
terdapat pada empat tempat,
dua di antaranya menggunakan kata kerja “syara’a” yaitu dalam Surat al-Syura ayat 13 dan 21. Sedangkan dua lainnya
termaktub dalam Surat al-Maidah ayat 48 dan
Surat al-Jatsiyah ayat 18 dengan menggunakan kata benda “syir’atan” dan
“syari’ah”.
Kata “syariat” sebelum
kemunculan Islam dimaksudkan untuk makna sumber air yang dijadikan sebagai penyembuh dahaga. Atas
dasar ini, para ahli
bahasa menggunakan kata “syariat” untuk makna-makna yang masih berdekatan. Misalnya, al-thariq, al-minhaj, al-‘adah, al-sabil
dan al-sunnah. Sehingga dapat dipastikan bahwa
penggunaan kata “syariat” di dalam alQuran bersifat isti’arah.
Maksudnya, mengganti makna asli syariat—dalam hal ini adalah sumber air—dengan makna lain, yaitu hadyullahi (hidayah atau petunjuk Allah).
Dengan mencermati makna syariat dari
ahli bahasa tersebut,maka empat ayat yang
diisyaratkan di atas mengandung dua prinsip universal, yaitu, menegakkan eksistensi agama dan tidak ada pembedaan di dalamnya. Pemaknaan ini akan tampak sangat jelas
pada ayat 48 Surat al-Maidah.
Ditegaskan bahwa Tuhan telah menjadikan syir’ah
dan minhaj bagi setiap umat. Karenanya, perbedaan pada syir’ah dan minhaj berkaitan dengan hukum-hukum praktis, bukan pada konsep
dasar teoritisnya. Asas iman semua
agama samawi (al-adyan al-kitabiyah)
adalah satu, kendati hukum-hukum
praktis yang mengatur perilaku penganutnya berbeda-beda. Pemaknaan ini jelas terakomodasi dalam Surat
al-Jatsiyah ayat 18 yang menetapkan
bahwa syariat berlawanan hawa nafsu. Artinya, syariatmeliputi asas-asas yang bersifat permanen, kaidah dan
prinsip-prinsip yang bertentangan
dengan hawa nafsu dan al-nazwah.
Akan
tetapi pemahaman syariatyang sering digunakan para ahli fiqh menunjuk pada dua makna yang berbeda.
Pertama, syariat sebagai hukum Tuhan dalam teks-teks sakral (nusus
al-wahyu). Kedua,hukum-hukum yang disimpulkan oleh para ahli fiqh dari teks-teks sakral
tersebut berbasis pada tradisi
masyarakat (‘uruf), dan
kebutuhan hidup (al-masalih al-mursalah)
mereka. Makna syariat
yang kedua inilah yang lazim disebut fiqh atau hukum
Islam.
Namun jika
mencermati fenomena syariat dengan teliti terdapat tiga pemaknaan yang lazim mengemuka.
Pertama, syariatsebagai prinsipprinsip universal mencerminkan kehendak Tuhan (al-iradah al-ilahiyah) yang berkaitan dengan perbuatan dan keberadaan
manusia. Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan kehendak Tuhan tentang tujuan penciptaan manusia dan eksistensinya. Termasuk dalam hal ini
adalah ayat-ayat yang menjelaskan perilaku
manusia.
Dalam waktu yang sama
kehendak dan tujuan Tuhan tampak jelas dalam
sejumlah ayat-ayat di dalam al-Qur’an. Istilah “amrun”lazim digunakan dalam
ayat-ayat tersebut untuk menunjuk pada kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan yang berkaitan dengan eksistensi dan
perbuatan manusia diungkap dengan dua model perintah (awamir).
Adakalanya
perintah tersebut menggunakan perantara manusia (awamir
al-mutajassadah ‘abra al-wasithah al-insaniyah). Perintah model ini disebut hukum-hukum yang bersifat
pilihan (ahkam khiyariyah).
Kita bisa menemukan model
perintah ini dalam Surat al-Thalaq ayat 5, al-Qadar ayat 4, dan al-Jatsiyah ayat 17.
Model
perintah yang lain berupa hukum-hukum yang bersifat lansung, tanpa perantara manusia (al-awamir
al-mutajassadah mubasyarah fi almuhith
al-maddi wa al-insani duna wasathah basyariyah). Sehubungan dengan
ini, al-Qur’an menggunakan istilah qadha’
dan qadar seperti dalam Surat al-Maryam ayat 35, al-Qamar
ayat 12, dan al-Ahzab ayat 38. Namun demikian,terdapat
qadha’ dan qadarTuhan
yang dapat diketahui oleh manusia
dengan cara melakukan studi terhadap hukum-hukum alam yang mengatur fenomena alam, fenomena
masyarakat, dan sejarah. Hal ini dapat kita amati dalam Surat al-Nahl ayat 12, al-Rum ayat 25,
al-Jatsiyah ayat
C.
Syariat Islam,
Perda Syariah dan Masa Depan Indonesia
Kata “syariat Islam” berarti adalah “jalan menuju
penyerahan diri (kepada Allah)”. Sebagai seorang Mukmin, sudah tentu saya akan
mendukung tegaknya syariat Islam di muka bumi ini, dengan segala daya upaya
untuk mendorong setiap manusia untuk benar-benar memahami hakikat hidup dan
berserah diri hanya kepada Allah.
Perlu diingat bahwa jalan menuju penyerahan
diri kepada Allah adalah sebuah pergulatan pribadi untuk menemukan Tuhan yang
telah menciptakannya. Ini adalah pencarian yang tidak akan pernah berhenti
hingga nafas terakhir.
Agama hanyalah sebuah jalan dan bukanlah
tujuan akhir. Dengan demikian, ketika anda telah mengikrarkan diri memeluk
agama Islam, bukan berarti perkaranya selesai. Anda tetap dituntut untuk meraih
keimanan dan ketakwaan sejati, yang merupakan sebuah perjuangan hingga akhir hayat.
Semua itu harus dilandasi oleh ketulusan dan keikhlasan untuk mengabdi hanya
kepada Allah (QS 4 : 125, QS 39 : 2, QS 40 : 65) dan bukan karena keterpaksaan
(QS 2 : 256).
Nah, bagaimana mungkin pergulatan pribadi
seorang hamba Allah untuk menuju Sang Pencipta itu (yang merupakan urusan yang
sangat pribadi) harus diatur dalam sebuah undang-undang? Bukankah ini berarti
sebuah pemaksaan kepada seseorang untuk berjalan di jalan penyerahan diri
tersebut? Sekali lagi, keimanan dan ketakwaan itu tidak bisa dipaksakan! Bahkan
Allah sendiri mempersilahkan manusia untuk kafir, dengan konsekuensi akhirat
yang harus siap ditanggung olehnya (QS 18 : 29).
Lagi pula saya melihat perda-perda syariah
yang bertebaran di seluruh Republik Indonesia ini rancu dalam memahami apa itu
syariat Islam. Yang terjadi adalah penerapan syariat adat-istiadat, syariat
Melayu, syariat Arab, syariat Salafi, dll. Bagaimana mungkin mereka mengklaim
sedang menegakkan syariat Islam sementara mereka justru menghancurkan
sendi-sendi ajaran Islam dengan pemaksaan terhadap keimanan dan ketakwaan, jauh
sekali dari Alquran yang sangat toleran dan mengakui pluralitas.
Dalam kacamata politik saya yang awam ini,
saya cenderung melihat bahwa kepala-kepala daerah yang mengesahkan perda-perda
syariah itu sesungguhnya tidak mengerti betul apa yang mereka lakukan, karena
sebenarnya motif mereka lebih bernuansa politik daripada agama. Mereka
melakukannya (perda syariah) hanya demi menarik konstituen massa Islam dalam
pemilu kepala daerah. Mereka juga tidak paham bahwa berdasarkan Pasal 10 UU No.
32 th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah : bahwa urusan agama, politik luar
negeri, pertahanan, dan moneter adalah merupakan urusan pemerintah pusat. Di
sisi lain, pemerintah pusat juga lalai membiarkan perda-perda syariah itu
bermunculan dengan melanggar Pasal 10 UU No. 32 th. 2004
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terlepas dari
sekeranjang kontroversi tersebut, perlu kiranya kita ketahui bersama bahwa
syariah mau tidak mau memang telah menjadi sebuah system hukum yang amat
mempengaruhi khazanah hukum secara global. Walaupun secara lokal, naik turunnya
hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan kebijakan penguasa,
tapi seiring dengan arus deras tren global, sistem yang dibawa nabi Muhammad 15
abad yang lalu mulai dilirik dan dikembangkan sebagai satu solusi oleh
masyarakat dan menjadi kajian dan perdebatan utama forum hukum dunia. Karena
itu para sarjana barat seperti Matthew Lippman, Sean Mc Coville dan Mordechai
Yerushalmi kembali mengakui bahwa Hukum Islam kini telah menjadi salah satu
dari tiga tradisi hukum yang utama terkait dengan dunia hukum dan filosofi dari
mayoritas bangsa-bangsa di dunia.
Harus diakui
sebagai sebuah sistem hukum yang sangat komprehensif, subtansi doktrin hukum
yang bersumber khususnya dari Al-Qur’an memang amat sulit untuk dibantah ke
universalannya. Namun sangat sering ditemukan bahwa problem syariat selalu
terletak pada penafsiran, pengelolaan dan penerapannya yang banyak dilakukan
oleh Negara dan birokrasi pemerintahan. Sebagai sebuah sumber dari kebenaran
hukum, subtansi-subtansi yang dikandung oleh syariat juga sering mulai memudar
di mata masyarakat terutama dikalangan yang sejak awal tidak mau memahami dan
cenderung memberikan stigma negatif terhadap syariat.
Tumbuhnya Perda Syari’ah merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji
dari berbagai sisi, baik sisi politik, budaya, hukum maupun agama. Perda
syari’at mencuat ketika otonomi luas diberikan kepada daerah dan pada saat yang
sama dialog dan perdebatan tenetang syari’at islam dalam perubahan
undang-undang dasar terus menghiasi pemberitaan media.
DAFTAR PUSTAKA
Gatra. Nomor 33 edisi 29 Juni 2006.
Liputan. 6 SCTV, 5/07/2006.
Mahfud,
Moh MD. Politik Hukum Nasional dan Posisi
Syari’at Islam, Makalah Studium Generale Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sabtu 9 September 2006.
Noer,
Deliar. 1987. Partai Islam Di Pentas
Nasional 1945-1965. (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti).
Qardlawi,
Yusuf, Introduction to Islam (Kairo: Islamic Inc, 1997).
Safi, Lu’ay, al-Aqidah wa al-Siyasah: Ma’alim Nazariyatli
al-Daulah alIslamiyah, Virginia: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr
al-Islami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar