BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur
lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Ia merupakan seorang
inteletual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Sejak kecil Gus Dur
dididik dan dibesarkan dalam keluarga pesantren dan dibawah naungan keluarga
ulama. Kakeknya sendiri adalah Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, salah
satu pendiri Nahdlatul Ulama –NU- dan pelopor Pesantren Tebuireng Jombang,
sedangkan ayahnya K.H Wahid Hasyim selain Ulama juga merupakan tokoh nasioanal
yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama R.I pada tahun 1950. dari garis
keturunan Ibunya Gus Dur juga mewarisi darah ulama sebut saja K.H Bisri
Syamsuri adalah kakeknya.
Abdurrahman Addakhil, adalah julukan Gus Dur kecil. Pada saat bocah,
tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur lebih memilih ikut
kakeknya dari pada tinggal bersama orang tuanya. Di saat serumah dengan
kakeknya itulah, Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari
hilir-mudik dirumah kakeknya.
Ayahnya K.H Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama yang membuat
keluarganya harus menetap di Jakarta, karena kedudukan sang ayah ini pula,
untuk kesekian kalinya GusDur kecil lebih akrab dengan dunia politik yang di dengar
dari rekan ayahnya yang sering mangkal dirumah mereka.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana Pemikiran-pemikiran Gusdur di mata masyarakat ?
- Seperti apa pemikiran Gusdur tentang pluralisme dan toleransi ?
- Bagaimana Gaya komunikasi Gusdur ketika berbicara Politik,demokratisasi dan HAM ?
- Seperti apa pandangan Gusdur tentang Hukum Islam ?
C.Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui Seperti apa Pemikiran-pemikiran Gusdur.
- Untuk mengetahui Seperti apa pemikiran Gusdur tentang pluralisme dan toleransi
- Untuk mengetahui pandangan Gusdur tentang Politik,Demokrasi,HAM dan Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
- Pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid
Dalam banyak hal pemikiran Gus
Dur dianggap tidak biasa, bahkan seringkali pemikirannya menciptakan
pertentangan dimana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir Gus Dur menjadi semakin
kontroversial, Ia berjalan seiring dengan kesalahpahaman sebagian orang tentang
barat pada umumnya, yaitu bagaimana seorang yang merupakan intelektual liberal
juga dapat dianggap sebagai figure religius dan bahkan pemimpin karismatik
setingkat wali? Dan jika kunci persoalan ini tidak diinvestigasi secara memadai
dan juga kaitan antara keyakinan agama Gus Dur dan peran public sekularnya
tidak diapahami, maka hampir tidak mungkin memahami dengan sungguh-sungguh siapa
sebenarnya Abdurrahman Wahid tersebut.
- Pluralisme dan Toleransi
Salah satu aspek yang sangat mudah
dipahami dari sosok si kiai “ketoprak” ini adalah pemikirannya tentang
pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China
–khonghucu- Indonesia, bahkan Ia juga tidak segan membela kelompok agama
minoritas, keyakinan, dan kelompok lain yang dianggap terdiskriminasi dan
dilanggar hak kemanusiaannya. Dengan
bahasa lain Gus Dur dapat dipahami sebagai figure yang memperjuangkan
diterimanya kenyataan social bahwa Indonesia itu beragam, dia sangat
mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam itu
sendiri. lebih dari itu, Gus Dur adalah seorang tokoh spiritual dan tokoh
moderat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi.
Ada satu pertanyaan mendasar yang
sering diungkapkan kalangan “barat” terhadap Gus Dur, bagaimana bisa terjadi
seseorang yang begitu mencintai agamanya dan khususnya sub-kultur agamanya
tempat ia tumbuh, mampu menjadikannya seorang yang pluralistic dan non-chauvinis.
Salah satu idiom popular barat modern atau budaya yang terbaratkan adalah bahwa
hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran,
kenyataan ini sama sekali tidak berlaku bagi Gus Dur.
Dari goyang Inul, Ajinomoto, sampai
yang masih hangat adalah tragedy Monas, Gus Dur bermain dari peran banyak wajah
yang dimainkannya dalam masyarakat Indonesia. Dimana peran-peran
tersebut seringkali menempatkannya pada titik inconsistent, yang mengundang
banyak reaksi dari masyarakat. Atau mungkin lebih tepat lagi, kebingungan itu
berasal dari fakta bahwa pada satu sisi Gus Dur dipandang dan dikenal banyak
orang sebagai figure religius dan pada sisi lain ditafsirkan oleh banyak orang
sebagai politisi yang sekuler dan juga sebagai intelektual yang liberal.
- Politik, Demokrasi dan HAM
Sebagian besar diskusi mengenai Gus
Dur, atau yang lebih jarang lagi mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu
atau aspek lain dari identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan
taktik politiknya yang paling sering dibahas daripada pergumulannya dengan
dunia kepesantrenan. Kalau mau diperhatikan, sangat jarang sekali berita atau
tulisan tentang Gus Dur yang mengangkat topic dirinya sebagai tokoh religius
yang memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia dan bahkan juga dunia.
Sebagai tokoh nasional yang dianggap juga sebagai guru bangsa, Gus Dur juga
dikenal sebagai intelektual public yang terpandang yang selalu mengkampanyekan
demokratisasi dan penegakan HAM. Akibatnya banyak orang merasa sulit memahami
bagaimana seorang muslim yang setia, atau penganut agama yang taat, dapat
menjadi figure modern yang liberal.
Membincang gaya
komunikasi politik Gus Dur, sama halnya dengan membuka peluang bagi munculnya
multi-tafsir atas berbagai gaya
yang ditampilkannya. Sikap politik Gus Dur yang lentur bagai janur menjadikan
dirinya sebagi kekuatan yang selalu diperhitungkan siapapun. Dia tidak alergi
untuk bertemu dengan banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang
atau kekuatan politik yang berseberangan dengannya. Membaca Gus Dur ibarat
membaca scenario cerita yang diwarnai oleh banyak kejadian tak terduga.
Gaya komunikasi politik Gus Dur memang unik
dan berbeda dengan kebanyakan tokoh nasional maupun internasional. Dia
seringkali membuka diskursus di media massa
tentang banyak hal, termasuk persoalan yang bagi sebagian orang dianggap
sebagai isu sensitif. Mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan
kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng seolah menjadi trade mark
diri Gus Dur.
Ide besar yang selalu diusung oleh
Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami
peralihan. Kalau diperhatikan betul, Gus Dur selalu membuat berbagai diskursus
di public untuk menjelaskan berbagai
aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
demokratis dan mempengaruhi public untuk mengubah dan mempertahankan suatu
betuk susunan masyarakat yang demokratis pula.
- Hukum Islam
Gus Dur memandang bahwa hukum Islam
harus menjadi salah satu factor pendukung pembangunan bangsa, sebagai kumpulan
peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seorang yang patuh memeluk
agamanya, hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari hanya sekedar luas
lingkup hukum yang dikenal umumnya. Dalam pandangannya, hukum Islam selain
mengandung pengertian akan hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang
juridis, juga meliputi soal-soal liturgy dan ritual keagamaan, etika dari soal
cara bersopan santun hingga kepada spekulasi estetis dari para mistikus (mutasawwifin)
yang terhalus.
Selanjutnya Gus Dur juga berpendapat
bahwa hukum Islam juga terkait dengan soal-soal perdata urusan perorangan
hingga urusan perniagaan dan moneter, soal-soal pidana dari penetapan bukti dan
saksi hingga pada penetapan hukuman mati, ketatanegaraan, hubungan
internasional, dan seribu satu masalah lainyang meliputi keseluruhan aspek
kehidupan, karenanya apa yang secara sederhana diistilahkan dengan “hukum
Islam”, sebenarnya lebih tepat dinamai keseluruhan tata kehidupan dalam Islam.
Lebih jauh lagi Gus Dur mengutip pendapat MacDonald, bahwa hukum Islam adalah “the
science of all things, human and divine.”
Namun demikian, Gus Dur berpandangan
bahwa hukum Islam mengalami proses irelevansi secara berangsur-angsur tapi
pasti, soal-soal perdata dan pidana telah banyak dipengaruhi, diubah dan dan
didesak oleh hukum perdata modern, hukum ketatanegaraan dan internasionalnya
mengalami nasib yang sama. Tinggal lagi soal-soal ibadat yang masih mendapat
tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitas yang
semakin berkurang, dan bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk agama
Islam yang masih taat.
Dalam hal demikian, masih dapatkah dipertahankan kebenaran claim
hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku kaum muslimin.
Gus Dur memandang walaupun dalam praktek hukum Islam tidak lagi berperan secara
utuh dan menyeluruh, namun hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan
para pemeluknya. Pertama, hukum Islam turut menciptakan tata nilai yang
mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap
baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan dan larangan
agama. kedua, hukum Islam dapat diserap dan menjadi bagian hukum positif
yang berlaku, walaupun ini membutuhkan proses yang tidak cepat. Ketiga,
adanya golongan yang memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam,
penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang memiliki appeal cukup besar, dan
dengan demikian ia menjadi bagian dari manifestasi kenegaraan Islam yang masih
harus ditegakkan di masa depan, betapa jauhnyapun masa depan tersebut
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada suatu loka karya di Semarang, Prof. Dr. Noeng Muhadjir mengatakan
bahwa Gus Dur berpikir dengan wawasan post-modernisme, oleh sebab itu,
kata Prof. Noeng, Gus Dur berpikir dari berbagai titik perspektif yang
berdimensi banyak segi dan sudut pandang sehingga sulit dimengerti. Orang harus
mampu mencermati pemikirn Gus Dur untuk dapat memahaminya. Di mata sebagian
orang, Gus Dur bagaikan teks yang mengandung banyak konteks, atau, ia harus di
baca sebagai konteks dibalik teks.
Sebelum menutup makalah ini, penulis
juga tertarik untuk menyampaikan sekilas ungkapan Jaya Suprana ketika melakukan
wawancara eklusif disalah satu TV swasta mengatakan, “Presiden RI
ke-empat bukan orang gila, tetapi membuat orang jadi gila”. Dengan logika
“biarinisme-nya”, Gus Dur telah membuat banyak orang jadi kesal, kecewa,
jengkel, geram, dan bahkan gila. Itulah Gus Dur, mantan presiden yang ter-antik
di dunia.
Demikianlah makalah ini penulis
sampaikan, dari pemaparan di atas bisa disimpulkan secara umum bahwasannya Gus
Dur adalah tokoh religius sekaligus bangsawan yang memiliki kepedulian yang
tinggi bahwa agama harus bersinergi dengan negara. Dengan bahasa lain
seharusnya nilai-nilai agama dijadikan dasar pijakan untuk membangun bangsa ini
menjadi bangsa yang besar yang bisa menerima kenyataan terhadap keragaman dan
budaya Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Wachid, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Dawam Raharjo, Pesantren dan
Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974)
Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999)
Horokoshi, Kyai dan Perubahan
Sosial, (Jakarta: P3M, 1987)
Kafrawi, Pembaharuan Sistem
Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan
Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1986)
Mastuhu, Memberdayakan Sistem
Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
M. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat
Desa, (Bandung: Angkasa, 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar