XXX

Minggu, 30 Desember 2012

KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN GUS DUR


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Ia merupakan seorang inteletual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Sejak kecil Gus Dur dididik dan dibesarkan dalam keluarga pesantren dan dibawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri adalah Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama –NU- dan pelopor Pesantren Tebuireng Jombang, sedangkan ayahnya K.H Wahid Hasyim selain Ulama juga merupakan tokoh nasioanal yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama R.I pada tahun 1950. dari garis keturunan Ibunya Gus Dur juga mewarisi darah ulama sebut saja K.H Bisri Syamsuri adalah kakeknya.
Abdurrahman Addakhil, adalah julukan Gus Dur kecil. Pada saat bocah, tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur lebih memilih ikut kakeknya dari pada tinggal bersama orang tuanya. Di saat serumah dengan kakeknya itulah, Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir-mudik dirumah kakeknya.
Ayahnya K.H Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama yang membuat keluarganya harus menetap di Jakarta, karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinya GusDur kecil lebih akrab dengan dunia politik yang di dengar dari rekan ayahnya yang sering mangkal dirumah mereka.

B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Pemikiran-pemikiran Gusdur di mata masyarakat ?
  2. Seperti apa pemikiran Gusdur tentang pluralisme dan toleransi ?
  3. Bagaimana Gaya komunikasi Gusdur ketika berbicara Politik,demokratisasi dan HAM ?
  4. Seperti apa pandangan Gusdur tentang Hukum Islam ?
C.Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui Seperti apa Pemikiran-pemikiran Gusdur.
  2. Untuk mengetahui Seperti apa pemikiran Gusdur tentang pluralisme dan toleransi
  3. Untuk mengetahui pandangan Gusdur tentang Politik,Demokrasi,HAM dan Hukum Islam

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid
            Dalam banyak hal pemikiran Gus Dur dianggap tidak biasa, bahkan seringkali pemikirannya menciptakan pertentangan dimana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir Gus Dur menjadi semakin kontroversial, Ia berjalan seiring dengan kesalahpahaman sebagian orang tentang barat pada umumnya, yaitu bagaimana seorang yang merupakan intelektual liberal juga dapat dianggap sebagai figure religius dan bahkan pemimpin karismatik setingkat wali? Dan jika kunci persoalan ini tidak diinvestigasi secara memadai dan juga kaitan antara keyakinan agama Gus Dur dan peran public sekularnya tidak diapahami, maka hampir tidak mungkin memahami dengan sungguh-sungguh siapa sebenarnya Abdurrahman Wahid tersebut.
  1. Pluralisme dan Toleransi
            Salah satu aspek yang sangat mudah dipahami dari sosok si kiai “ketoprak” ini adalah pemikirannya tentang pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China –khonghucu- Indonesia, bahkan Ia juga tidak segan membela kelompok agama minoritas, keyakinan, dan kelompok lain yang dianggap terdiskriminasi dan dilanggar hak kemanusiaannya.  Dengan bahasa lain Gus Dur dapat dipahami sebagai figure yang memperjuangkan diterimanya kenyataan social bahwa Indonesia itu beragam, dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam itu sendiri. lebih dari itu, Gus Dur adalah seorang tokoh spiritual dan tokoh moderat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi.
            Ada satu pertanyaan mendasar yang sering diungkapkan kalangan “barat” terhadap Gus Dur, bagaimana bisa terjadi seseorang yang begitu mencintai agamanya dan khususnya sub-kultur agamanya tempat ia tumbuh, mampu menjadikannya seorang yang pluralistic dan non-chauvinis. Salah satu idiom popular barat modern atau budaya yang terbaratkan adalah bahwa hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran, kenyataan ini sama sekali tidak berlaku bagi Gus Dur.
            Dari goyang Inul, Ajinomoto, sampai yang masih hangat adalah tragedy Monas, Gus Dur bermain dari peran banyak wajah yang dimainkannya dalam masyarakat Indonesia. Dimana peran-peran tersebut seringkali menempatkannya pada titik inconsistent, yang mengundang banyak reaksi dari masyarakat. Atau mungkin lebih tepat lagi, kebingungan itu berasal dari fakta bahwa pada satu sisi Gus Dur dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figure religius dan pada sisi lain ditafsirkan oleh banyak orang sebagai politisi yang sekuler dan juga sebagai intelektual yang liberal.

  1. Politik, Demokrasi dan HAM
            Sebagian besar diskusi mengenai Gus Dur, atau yang lebih jarang lagi mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu atau aspek lain dari identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan taktik politiknya yang paling sering dibahas daripada pergumulannya dengan dunia kepesantrenan. Kalau mau diperhatikan, sangat jarang sekali berita atau tulisan tentang Gus Dur yang mengangkat topic dirinya sebagai tokoh religius yang memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia dan bahkan juga dunia. Sebagai tokoh nasional yang dianggap juga sebagai guru bangsa, Gus Dur juga dikenal sebagai intelektual public yang terpandang yang selalu mengkampanyekan demokratisasi dan penegakan HAM. Akibatnya banyak orang merasa sulit memahami bagaimana seorang muslim yang setia, atau penganut agama yang taat, dapat menjadi figure modern yang liberal.
            Membincang gaya komunikasi politik Gus Dur, sama halnya dengan membuka peluang bagi munculnya multi-tafsir atas berbagai gaya yang ditampilkannya. Sikap politik Gus Dur yang lentur bagai janur menjadikan dirinya sebagi kekuatan yang selalu diperhitungkan siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu dengan banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama  dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang atau kekuatan politik yang berseberangan dengannya. Membaca Gus Dur ibarat membaca scenario cerita yang diwarnai oleh banyak kejadian tak terduga.
            Gaya komunikasi politik Gus Dur memang unik dan berbeda dengan kebanyakan tokoh nasional maupun internasional. Dia seringkali membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk persoalan yang bagi sebagian orang dianggap sebagai isu sensitif. Mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng seolah menjadi trade mark diri Gus Dur.
            Ide besar yang selalu diusung oleh Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan. Kalau diperhatikan betul, Gus Dur selalu membuat berbagai diskursus di public untuk menjelaskan berbagai  aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan tumbuhnya kekuasaan yang demokratis dan mempengaruhi public untuk mengubah dan mempertahankan suatu betuk susunan masyarakat yang demokratis pula.

  1. Hukum Islam
            Gus Dur memandang bahwa hukum Islam harus menjadi salah satu factor pendukung pembangunan bangsa, sebagai kumpulan peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seorang yang patuh memeluk agamanya, hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari hanya sekedar luas lingkup hukum yang dikenal umumnya. Dalam pandangannya, hukum Islam selain mengandung pengertian akan hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang juridis, juga meliputi soal-soal liturgy dan ritual keagamaan, etika dari soal cara bersopan santun hingga kepada spekulasi estetis dari para mistikus (mutasawwifin) yang terhalus.
            Selanjutnya Gus Dur juga berpendapat bahwa hukum Islam juga terkait dengan soal-soal perdata urusan perorangan hingga urusan perniagaan dan moneter, soal-soal pidana dari penetapan bukti dan saksi hingga pada penetapan hukuman mati, ketatanegaraan, hubungan internasional, dan seribu satu masalah lainyang meliputi keseluruhan aspek kehidupan, karenanya apa yang secara sederhana diistilahkan dengan “hukum Islam”, sebenarnya lebih tepat dinamai keseluruhan tata kehidupan dalam Islam. Lebih jauh lagi Gus Dur mengutip pendapat MacDonald, bahwa hukum Islam adalah “the science of all things, human and divine.”
            Namun demikian, Gus Dur berpandangan bahwa hukum Islam mengalami proses irelevansi secara berangsur-angsur tapi pasti, soal-soal perdata dan pidana telah banyak dipengaruhi, diubah dan dan didesak oleh hukum perdata modern, hukum ketatanegaraan dan internasionalnya mengalami nasib yang sama. Tinggal lagi soal-soal ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk agama Islam yang masih taat.       
       Dalam hal demikian, masih dapatkah dipertahankan kebenaran claim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku kaum muslimin. Gus Dur memandang walaupun dalam praktek hukum Islam tidak lagi berperan secara utuh dan menyeluruh, namun hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Pertama, hukum Islam turut menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan dan larangan agama. kedua, hukum Islam dapat diserap dan menjadi bagian hukum positif yang berlaku, walaupun ini membutuhkan proses yang tidak cepat. Ketiga, adanya golongan yang memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam, penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan  yang memiliki appeal cukup besar, dan dengan demikian ia menjadi bagian dari manifestasi kenegaraan Islam yang masih harus ditegakkan di masa depan, betapa jauhnyapun masa depan tersebut





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada suatu loka karya di Semarang, Prof. Dr. Noeng Muhadjir mengatakan bahwa Gus Dur berpikir dengan wawasan post-modernisme, oleh sebab itu, kata Prof. Noeng, Gus Dur berpikir dari berbagai titik perspektif yang berdimensi banyak segi dan sudut pandang sehingga sulit dimengerti. Orang harus mampu mencermati pemikirn Gus Dur untuk dapat memahaminya. Di mata sebagian orang, Gus Dur bagaikan teks yang mengandung banyak konteks, atau, ia harus di baca sebagai konteks dibalik teks.
            Sebelum menutup makalah ini, penulis juga tertarik untuk menyampaikan sekilas ungkapan Jaya Suprana ketika melakukan wawancara eklusif disalah satu TV swasta mengatakan, “Presiden RI ke-empat bukan orang gila, tetapi membuat orang jadi gila”. Dengan logika “biarinisme-nya”, Gus Dur telah membuat banyak orang jadi kesal, kecewa, jengkel, geram, dan bahkan gila. Itulah Gus Dur, mantan presiden yang ter-antik di dunia.
            Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, dari pemaparan di atas bisa disimpulkan secara umum bahwasannya Gus Dur adalah tokoh religius sekaligus bangsawan yang memiliki kepedulian yang tinggi bahwa agama harus bersinergi dengan negara. Dengan bahasa lain seharusnya nilai-nilai agama dijadikan dasar pijakan untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar yang bisa menerima kenyataan terhadap keragaman dan budaya Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman Wachid, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)

Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974)

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999)

Horokoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987)

Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1986)

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

M. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Angkasa, 1993)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar